Senin, 11 April 2016

Tugas Kepariwisataan




Lapangan Banteng yang berlokasi di kawasan Sawah Besar, Jakarta Pusat, memang memiliki sekelumit sejarah yang menarik. Dikenal dengan nama Waterlooplein sejak zaman pemerintahan Belanda, lapangan ini memang tidak memiliki ukuran yang lebih besar dari Lapangan Monumen Nasional (Koningsplein). Namun demikian, Lapangan Banteng juga bersinggungan dengan banyak peristiwa sejarah.

Catatan De Haan tahun 1935 mengungkap, Lapangan Banteng sempat beberapa kali berpindah kepemilikan. Awalnya pada masa JP Coen membangun kota Batavia di dekat muara Ci Liwung , Lapangan Banteng dan daerah disekitarnya masih berupa hutan belantara.
Kemudian pada 1632, menurut catatan resmi, kawasan hutan belantara ini menjadi milik Anthony Paviljoen. Terinspirasi dengan nama pemiliknya, lapangan ini kemudian diberi nama Paviljoensveld atau Lapangan Paviljoen.
Paviljoen kemudian menyewakan beberapa lahan miliknya kepada orang Tiongkok untuk ditanami tebu dan sayur-sayuran. Sementara dirinya sendiri, hanya menyisakan hak untuk beternak sapi.
Pada masa-masa berikutnya, Lapangan Banteng sempat dimiliki oleh seorang anggota Dewan Hindia, yang bernama Cornelis Chastelein. Di bawah kepemilikannya, Chastelein memberi nama lapangan ini dengan sebuat Waltevreden. Setelah berganti-ganti kepemilikan, termasuk Justinus Vinck, tanah Weltevreden menjadi milik Gubernur Jenderal van der Parra.
Pada awal abad ke-19, Weltevreden semakin berkembang. Di sekitarnya banyak dibangun gedung. Hingga di pertengahan abad itu, Lapangan Banteng menjadi tempat berkumpulnya golongan elite Kota Batavia. Tiap sore menjelang malam selalu digelar pertunjukan musik yang ditonton kalangan elite Jakarta.
Menurut buku “Asal-usul Nama Tempat di Jakarta” karya Rachmat Ruchiat, yang dikutip Jumat (18/12/2015), pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Lapangan Banteng disebut dengan Lapangan Singa. Sebutan tersebut dipakai karena di tengah lapangan tersebut terpancang tugu peringatan kemenangan perang di Waterloo dengan patung berbentuk singa di bagian tengahnya. Namun tugu ini dirobohkan saat Indonesia diduduki Jepang.
Setelah Indonesia merdeka, nama Lapangan Singa diganti dengan sebutan Lapangan Banteng. Selain pertimbangan nasionalisme, mengingat Singa erat kaitannya dengan simbol penjajah, nama Lapangan Banteng dipakai juga dengan pertimbangan bahwa di kawasan ini dahulu banyak dijumpai satwa liar, seperti macan, kijang, dan banteng.


Laporan mengunjungi Lapangan Banteng
Pada hari Minggu tanggal 3 April 2016 saya mengunjungi salah satu tempat wisata bersejarah di Jakarta Pusat, Lapangan Banteng. Perjalanan wisata saya kali ini sangat menyengangkan, karena selain saya mengunjungi tempat wisata yang punya cerita sejarah yang unik, juga didalamnya banyak hal menarik untuk dilihat. Diantaranya ada pameran berupa flora dan fauna yang sangat unik. Juga ada berbagai macam kuliner khas Jakarta yang patut Anda coba. Pada hari sabtu atau minggu ataupun hari-hari libur nasional, taman ini akan semakin ramai pengunjung. Anda tidak perlu khawatir karena biaya masuk ke Lapangan Banteng ini gratis.